"Fitrah yang Lurus"
Di daerah Daus, ia menjalani masa remaja dalam keluarga yang
mulia dan terhormat. Ia dikaruniai bakat sebagai penyair hingga nama dan
kemahirannya termasyur di kalangan suku-suku.
Di pekan
raya Ukadh, di mana semua orang dari segala penjuru berdatangan membanggakan penyair masing-masing, Thufail
berada di barisan terdepan.
Di luar
musim pekan raya Ukadh, ia juga sering mengunjungi Mekah.
Pada suatu
ketika, saat ia berkunjung ke kota suci itu, Rasulullah sudah mulai berdakwah
secara terang-terangan. Orang-orang Quraisy takut kalau Thufail menemuinya dan
masuk Islam, lalu menggunakan bakatnya sebagai penyair untuk membela islam.
Jika itu terjadi, berarti bencana besar bagi Quraisy dan berhala-berhala
mereka.
Oleh karena
itu, mereka terus mendampinginya, menjamunya dengan segala kesenangan,
kemewahan dan kenikmatan. Mereka menakut-nakutinya agar tidak berjumpa dengan
Rasulullah saw. Mereka berkata, “Muhammad memiliki ucapan laksana sihir hingga
dapat memisahkan seseorang dari ayahnya; dari saudaranya; dan dari suami atau
istrinya. Sesungguhnya, kami mencemaskan dirimu dan janganlah mendengarkan
ucapannya.”
Marilah kita
mendengarkan Thufail menceritakan sendiri kisahnya.
“Demi Allah,
mereka selalu mendampingiku, hingga aku sudah bertekad untuk tidak mendengar
sesuatu dari Rasulullah dan tidak menemuinya. Ketika aku pergi ke Ka’bah,
kututup telingaku dengan kapas agar jika beliau berkata, aku tidak mendengar
perkataannya, di sana aku mendapatinya shalat di dekat Ka’bah. Aku berdiri di
dekatnya. Lalu, Allah berkehendak memperdengarkan kepadaku apa yang sedang
dibaca Rasulullah. Aku mendengarkan ucapan yang sangat indah. Aku berkata dalam
hati, ‘Demi Tuhan, aku ini orang yang pandai dan seorang penyair. Aku bisa
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Maka, apa salahnya jika aku
mendengarkan perkataan laki-laki itu? Jika perkataannya baik, kuterima, dan
jika buruk, kutinggalkan. Aku tetap di tempat itu hingga ia pulang ke rumahnya.
Aku mengikutinya hingga ia masuk rumah. Aku juga ikut masuk dan berkata
kepadanya, ‘Wahai Muhammad, kaummu telah bercerita kepadaku tentang dirimu
begini dan begini. Demi Tuhan, mereka terus menakut-nakutiku tentang dirimu,
hingga kututupi telingaku dengan kapas agar tidak mendengar perkataanmu.’ Maka
Rasulullah menjelaskan Islam kepadaku dan membaca Al-Qur’an. Demi Allah, aku
tidak pernah mendengar ucapan yang lebih baik dari itu, dan perkara yang lebih
benar dari itu.
Lalu aku masuk Islam. Aku mengucapkan
kalimat syahadat. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ini seorang
yang ditaati oleh kaumku, dan sekarang aku akan kembali kepada mereka, mengajak
mereka kepada Islam. Maka, mohonan kepada Allah agar aku diberi tanda yang
dapat membantuku dalam menyeru mereka.’ Maka, Rasulullah saw. berdoa, Ya Allah,
berikan kepadanya suatu tanda.’”
Dalam Kitab suci-Nya, Allah telah
memuji “orang-orang yang mendengarkan perkataan, lalu mengikuti yang terbaik.”
Nah, sekarang kita bertemu dengan satu dari mereka. Dia merupakan gambaran
tepat dari fitrah yang lurus.
Baru saja
telinganya mendengar beberapa ayat mengenai petunjuk dan kebaikan yang
diturunkan Allah dan Rasul-Nya, semua pendengaran dan hatinya terbuka, lalu
tangannya terbentang untuk menyatakan keislaman. Tidak berhenti di sana, ia
langsung merasa bertanggung jawab untuk mengajak keluarga dan kaumnya kepada
agama yang benar dan jalan yang lurus ini.
Karena itu, baru saja ia sampai di
Daus (rumah dan kampung halamannya), ia memaparkan kepada ayahnya apa yang
sekarang menjadi keyakinannya. Ia juga bercerita tentang Rasulullah yang
mengajak ke jalan Allah, bagaimana keagungan, kesucian, kejujuran, keikhlasan,
dan ketaatannya kepada Allah, Tuhan alam semesta. Setelah itu, ia mengajak
ayahnya untuk masuk Islam.
Saat itu juga, sang ayah masuk Islam.
Kemudian ia memaparkan kepada ibunya. Ia pun masuk Islam. Lalu kapada istrinya.
Ia juga masuk Islam.
Setelah merasa puas karena seisi
rumahnya telah masuk Islam, ia beralih mengajak kerabat dan kaumnya untuk masuk
Islam. Ternyata, tidak seorang pun dari mereka yang masuk Islam, kecuali Abu
Hurairah.
Kaumnya
menghinanya dan menjauh darinya. Akhirnya, ia tidak sabar lagi menghadapi
mereka. Ia mengendarai kudanya, menempuh perjalanan jauh pergi ke tempat
Rasulullah untuk mengadukan permasalahannya, sekaligus meminta bekal dari
ajarannya.
Setibanya di Mekah, ia bergegas ke
rumah Rasul, dibimbing oleh kerinduan yang mendalam. Ia berkata kepada Nabi,
“Wahai Rasulullah, aku tidak mampu menghadapi perzinahan dan riba yang
merajalela di desa Daus. Maka, mohonkanlah kepada Allah agar ia menghancurkan
Daus.”
Thufail sangat terkejut ketika
dilihatnya Rasulullah menengadahkan kedua tangannya ke langit dan berdoa, “Ya
Allah, tunjukilah orang-orang Daus, dan
datang-kanlah mereka ke sini sebagai orang-orang Islam.” Beliau menoleh kepada
Thufail dan berkata, “Kembalilah kepada kaummu. Ajaklah mereka dan bersikap
lembutlah kepada mereka.”
Peristiwa ini benar-benar mempesona
Thufail. Jiwanya penuh kedamaian. Ia tidak habis-habisan memuji Allah yang
telah menjadikan Rasulullah yang penyayang ini menjadi guru dan pembimbingnya,
dan yang telah menjadikan Islam sebagai agamadan tempat berlindungnya.
Dengan semangat ia kembali kepada
kaumnya. Di sana, ia terus mengajak mereka kepada Islam dengan penuh
kehati-hatian dan lemah lembut, seperti pesan Rasulullah saw.
Selama masa yang dilaluinya di
tengah-tengah kaumnya, di sisi lain Rasulullah telah hijrah ke Madinah, telah
melewati Perang Badar, Uhud, dan Khandaq.
Ketika Rasulullah sedang berada di
Khaibar, usai membebaskan daerah itu dari tangan orang-orang Yahudi, ada
rombongan besar yang terdiri dari delapan puluh keluarga Daus datang menghadap
Rasulullah sambil membaca tahlil dan takbir. Mereka duduk di hadapannya
berjanji setia (berbaiat) kepada Rasulullah secara bergantian.
Setelah kejadian demi kejadian itu,
Thufail bin Amru duduk sendiri merenung, mengingat masa lalunya, merenungkan
jalan yang dilaluinya.
Ia teringat saat datang kepada
Rasululullah, memohon agar beliau berdoa kepada Allah untuk kehancuran penduduk
Daus, namun beliau berdoa dengan doa lain yang membuatnya terpesona. Beliau
berdoa, “Ya Allah, tunjukilah penduduk Daus, dan bawahlah mereka ke sini
sebagai orang-orang Islam.”
Allah benar-benar telah memberi
hidayah kepada penduduk Daus. Mereka datang sebagai orang-orang Islam.
Inilah mereka, 80 keluarga mewakili
mayoritas penduduk Daus. Sekarang, mereka sudah bergabung dalam barisan suci di
belakang Rasulullah yang tepercaya.
Thufail melanjutkan perjalanan
hidupnya bersama kaum muslimin yang lain.
Pada peristiwa pembebasan kota Mekah,
ia ikut memasuki kota Mekah bersama 10
ribu kaum muslimin yang lain, tanpa merasa sombong dan besar kepala, tetapi
sebaliknya, menundukkan kepala dengan khusyu’ dan rasa hormatsebagai ucapan
syukur kepada Allah yang telah memberikan pembebasan kota Mekah dan kemenangan
besar.
Thufail melihat Rasulullah sedang
menghancurkan berhala-berhala di Ka’bah. Dengan tangannya sendiri, beliau
membersihkan kotoran yang telah berakar itu.
Thufail teringat sebuah patung milik
Amru bin Humamah. Dulu, setiap kali ia berkunjung ke Mekah, Amru selalu
mengajaknya duduk khusyu’ menyembah patung itu. Sekaranglah saatnya bagi
Thufail untuk membersihkan dosa-dosa masa lalunya. Ia mendekati Rasulullah,
meminta izin kepada beliau untuk membakar patung milik Amru bin Humamah, yang
biasa disebut “Dzul Kaffain” (yang memiliki dua telapak tangan).
Rasulullah mengizinkan. Thufail mulai
membakarnya. Setiap kali api itu mengecil, ia menambahnya lagi sambil
bersenandung,
“Wahai Dzul Kaffain,
Aku bukan penyembahmu
Kamu lahir setelahku
Kini kusiramkan api di perutmu”
Ia melanjutkan perjalanan hidupnya
bersama Rasulullah. Shalat di belakang beliau, belajar darinya dan berperang
bersamanya
Ketika Rasulullah wafat, Thufail
melihat bahwa tanggung jawabnya sebagai muslim tidak berhenti dengan wafatnya
beliau, bahkan bisa dikatakan baru dimulai.
Ketika pertempuran melawan
orang-orang murtad berkobar, Thufail
menyisngsingkan lengan bajunya, terjun mengalami pahit getirnya hal itu dengan
semangat baja, mengharapkan syahid. Pertempuran demi pertempuran dalam perang
melawan orang-orang murtad, terus ia ikuti.
Pada pertempuran Yamamah, ia
berangkat bersama kaum muslimin dengan menyertakan putranya, Amru bin Thufail.
Sejak awal pertempuran, ia telah berpesan kepada putranya agar berperang dengan
gagah berani mengharapkan kesyahidan dalam menghadapi tentara Musailamah
al-Kadzdzab. Ia juga memberitahu putranya bahwa ia merasa akan gugur di
pertempuran ini.
Ia hunuskan pedangnya, lalu berperang
dengan gagah berani. Ia sama sekali tidak menggunakan pedangnya untuk
melindungi nyawanya. Tetapi ia menjadikan nyawanya untuk melindungi pedangnya,
sehingga jika ia gugur kelak, pedagnya tetap utuh dan bisa dipergunakan oleh
rekan-rekannya.
Dalam pertempuran itu, Thufail
ad-Dausi gugur sebagai syahid. Ia roboh oleh sabetan pedan. Ia sempat melambai
kepada anaknya yang samar-samar dilihatnya, seakan mengajaknya turut serta.
Dan ternyata, sang putra benar-benar
mengikuti jejak langkahnya. Tetapi, di pertarungan yang lain. Tepatnya di
Perang Yarmuk, di Syam. Amru bin Thufail ikut dalam rombongan pasukan. Di sana
ia gugur sebagai syahid. Saat mengembuskan napasnya yang terakhir, ia menjulurkan
tangan kanannya dan membuka telapak tangannya, sekan sedang berjabat tangan.
Siapa yang tahu?!
Bisa jadi, saat itu, ia sedang
berjabat tangan dengan ruh ayahnya.
0 komentar:
Posting Komentar