Thufail Bin Amru Ad-Dausi

Filled under:

"Fitrah yang Lurus"
Di daerah Daus, ia menjalani masa remaja dalam keluarga yang mulia dan terhormat. Ia dikaruniai bakat sebagai penyair hingga nama dan kemahirannya termasyur di kalangan suku-suku.
            Di pekan raya Ukadh, di mana semua orang dari segala penjuru berdatangan  membanggakan penyair masing-masing, Thufail berada di barisan terdepan.
            Di luar musim pekan raya Ukadh, ia juga sering mengunjungi Mekah.
            Pada suatu ketika, saat ia berkunjung ke kota suci itu, Rasulullah sudah mulai berdakwah secara terang-terangan. Orang-orang Quraisy takut kalau Thufail menemuinya dan masuk Islam, lalu menggunakan bakatnya sebagai penyair untuk membela islam. Jika itu terjadi, berarti bencana besar bagi Quraisy dan berhala-berhala mereka.
            Oleh karena itu, mereka terus mendampinginya, menjamunya dengan segala kesenangan, kemewahan dan kenikmatan. Mereka menakut-nakutinya agar tidak berjumpa dengan Rasulullah saw. Mereka berkata, “Muhammad memiliki ucapan laksana sihir hingga dapat memisahkan seseorang dari ayahnya; dari saudaranya; dan dari suami atau istrinya. Sesungguhnya, kami mencemaskan dirimu dan janganlah mendengarkan ucapannya.”
            Marilah kita mendengarkan Thufail menceritakan sendiri kisahnya.
            “Demi Allah, mereka selalu mendampingiku, hingga aku sudah bertekad untuk tidak mendengar sesuatu dari Rasulullah dan tidak menemuinya. Ketika aku pergi ke Ka’bah, kututup telingaku dengan kapas agar jika beliau berkata, aku tidak mendengar perkataannya, di sana aku mendapatinya shalat di dekat Ka’bah. Aku berdiri di dekatnya. Lalu, Allah berkehendak memperdengarkan kepadaku apa yang sedang dibaca Rasulullah. Aku mendengarkan ucapan yang sangat indah. Aku berkata dalam hati, ‘Demi Tuhan, aku ini orang yang pandai dan seorang penyair. Aku bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Maka, apa salahnya jika aku mendengarkan perkataan laki-laki itu? Jika perkataannya baik, kuterima, dan jika buruk, kutinggalkan. Aku tetap di tempat itu hingga ia pulang ke rumahnya. Aku mengikutinya hingga ia masuk rumah. Aku juga ikut masuk dan berkata kepadanya, ‘Wahai Muhammad, kaummu telah bercerita kepadaku tentang dirimu begini dan begini. Demi Tuhan, mereka terus menakut-nakutiku tentang dirimu, hingga kututupi telingaku dengan kapas agar tidak mendengar perkataanmu.’ Maka Rasulullah menjelaskan Islam kepadaku dan membaca Al-Qur’an. Demi Allah, aku tidak pernah mendengar ucapan yang lebih baik dari itu, dan perkara yang lebih benar dari itu.
Lalu aku masuk Islam. Aku mengucapkan kalimat syahadat. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ini seorang yang ditaati oleh kaumku, dan sekarang aku akan kembali kepada mereka, mengajak mereka kepada Islam. Maka, mohonan kepada Allah agar aku diberi tanda yang dapat membantuku dalam menyeru mereka.’ Maka, Rasulullah saw. berdoa, Ya Allah, berikan kepadanya suatu tanda.’”
Dalam Kitab suci-Nya, Allah telah memuji “orang-orang yang mendengarkan perkataan, lalu mengikuti yang terbaik.” Nah, sekarang kita bertemu dengan satu dari mereka. Dia merupakan gambaran tepat dari fitrah yang lurus.
            Baru saja telinganya mendengar beberapa ayat mengenai petunjuk dan kebaikan yang diturunkan Allah dan Rasul-Nya, semua pendengaran dan hatinya terbuka, lalu tangannya terbentang untuk menyatakan keislaman. Tidak berhenti di sana, ia langsung merasa bertanggung jawab untuk mengajak keluarga dan kaumnya kepada agama yang benar dan jalan yang lurus ini.
Karena itu, baru saja ia sampai di Daus (rumah dan kampung halamannya), ia memaparkan kepada ayahnya apa yang sekarang menjadi keyakinannya. Ia juga bercerita tentang Rasulullah yang mengajak ke jalan Allah, bagaimana keagungan, kesucian, kejujuran, keikhlasan, dan ketaatannya kepada Allah, Tuhan alam semesta. Setelah itu, ia mengajak ayahnya untuk masuk Islam.
Saat itu juga, sang ayah masuk Islam. Kemudian ia memaparkan kepada ibunya. Ia pun masuk Islam. Lalu kapada istrinya. Ia juga masuk Islam.
Setelah merasa puas karena seisi rumahnya telah masuk Islam, ia beralih mengajak kerabat dan kaumnya untuk masuk Islam. Ternyata, tidak seorang pun dari mereka yang masuk Islam, kecuali Abu Hurairah.
            Kaumnya menghinanya dan menjauh darinya. Akhirnya, ia tidak sabar lagi menghadapi mereka. Ia mengendarai kudanya, menempuh perjalanan jauh pergi ke tempat Rasulullah untuk mengadukan permasalahannya, sekaligus meminta bekal dari ajarannya.
Setibanya di Mekah, ia bergegas ke rumah Rasul, dibimbing oleh kerinduan yang mendalam. Ia berkata kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, aku tidak mampu menghadapi perzinahan dan riba yang merajalela di desa Daus. Maka, mohonkanlah kepada Allah agar ia menghancurkan Daus.”
Thufail sangat terkejut ketika dilihatnya Rasulullah menengadahkan kedua tangannya ke langit dan berdoa, “Ya Allah, tunjukilah orang-orang  Daus, dan datang-kanlah mereka ke sini sebagai orang-orang Islam.” Beliau menoleh kepada Thufail dan berkata, “Kembalilah kepada kaummu. Ajaklah mereka dan bersikap lembutlah kepada mereka.”
Peristiwa ini benar-benar mempesona Thufail. Jiwanya penuh kedamaian. Ia tidak habis-habisan memuji Allah yang telah menjadikan Rasulullah yang penyayang ini menjadi guru dan pembimbingnya, dan yang telah menjadikan Islam sebagai agamadan tempat berlindungnya.
Dengan semangat ia kembali kepada kaumnya. Di sana, ia terus mengajak mereka kepada Islam dengan penuh kehati-hatian dan lemah lembut, seperti pesan Rasulullah saw.
Selama masa yang dilaluinya di tengah-tengah kaumnya, di sisi lain Rasulullah telah hijrah ke Madinah, telah melewati Perang Badar, Uhud, dan Khandaq.
Ketika Rasulullah sedang berada di Khaibar, usai membebaskan daerah itu dari tangan orang-orang Yahudi, ada rombongan besar yang terdiri dari delapan puluh keluarga Daus datang menghadap Rasulullah sambil membaca tahlil dan takbir. Mereka duduk di hadapannya berjanji setia (berbaiat) kepada Rasulullah secara bergantian.
Setelah kejadian demi kejadian itu, Thufail bin Amru duduk sendiri merenung, mengingat masa lalunya, merenungkan jalan yang dilaluinya.
Ia teringat saat datang kepada Rasululullah, memohon agar beliau berdoa kepada Allah untuk kehancuran penduduk Daus, namun beliau berdoa dengan doa lain yang membuatnya terpesona. Beliau berdoa, “Ya Allah, tunjukilah penduduk Daus, dan bawahlah mereka ke sini sebagai orang-orang Islam.”
Allah benar-benar telah memberi hidayah kepada penduduk Daus. Mereka datang sebagai orang-orang Islam.
Inilah mereka, 80 keluarga mewakili mayoritas penduduk Daus. Sekarang, mereka sudah bergabung dalam barisan suci di belakang Rasulullah yang tepercaya.
Thufail melanjutkan perjalanan hidupnya bersama kaum muslimin yang lain.
Pada peristiwa pembebasan kota Mekah, ia ikut memasuki kota  Mekah bersama 10 ribu kaum muslimin yang lain, tanpa merasa sombong dan besar kepala, tetapi sebaliknya, menundukkan kepala dengan khusyu’ dan rasa hormatsebagai ucapan syukur kepada Allah yang telah memberikan pembebasan kota Mekah dan kemenangan besar.
Thufail melihat Rasulullah sedang menghancurkan berhala-berhala di Ka’bah. Dengan tangannya sendiri, beliau membersihkan kotoran yang telah berakar itu.
Thufail teringat sebuah patung milik Amru bin Humamah. Dulu, setiap kali ia berkunjung ke Mekah, Amru selalu mengajaknya duduk khusyu’ menyembah patung itu. Sekaranglah saatnya bagi Thufail untuk membersihkan dosa-dosa masa lalunya. Ia mendekati Rasulullah, meminta izin kepada beliau untuk membakar patung milik Amru bin Humamah, yang biasa disebut “Dzul Kaffain” (yang memiliki dua telapak tangan).
Rasulullah mengizinkan. Thufail mulai membakarnya. Setiap kali api itu mengecil, ia menambahnya lagi sambil bersenandung,
“Wahai Dzul Kaffain,
Aku bukan penyembahmu
Kamu lahir setelahku
Kini kusiramkan api di perutmu”
Ia melanjutkan perjalanan hidupnya bersama Rasulullah. Shalat di belakang beliau, belajar darinya dan berperang bersamanya
Ketika Rasulullah wafat, Thufail melihat bahwa tanggung jawabnya sebagai muslim tidak berhenti dengan wafatnya beliau, bahkan bisa dikatakan baru dimulai.
Ketika pertempuran melawan orang-orang  murtad berkobar, Thufail menyisngsingkan lengan bajunya, terjun mengalami pahit getirnya hal itu dengan semangat baja, mengharapkan syahid. Pertempuran demi pertempuran dalam perang melawan orang-orang murtad, terus ia ikuti.
Pada pertempuran Yamamah, ia berangkat bersama kaum muslimin dengan menyertakan putranya, Amru bin Thufail. Sejak awal pertempuran, ia telah berpesan kepada putranya agar berperang dengan gagah berani mengharapkan kesyahidan dalam menghadapi tentara Musailamah al-Kadzdzab. Ia juga memberitahu putranya bahwa ia merasa akan gugur di pertempuran ini.
Ia hunuskan pedangnya, lalu berperang dengan gagah berani. Ia sama sekali tidak menggunakan pedangnya untuk melindungi nyawanya. Tetapi ia menjadikan nyawanya untuk melindungi pedangnya, sehingga jika ia gugur kelak, pedagnya tetap utuh dan bisa dipergunakan oleh rekan-rekannya.
Dalam pertempuran itu, Thufail ad-Dausi gugur sebagai syahid. Ia roboh oleh sabetan pedan. Ia sempat melambai kepada anaknya yang samar-samar dilihatnya, seakan mengajaknya turut serta.
Dan ternyata, sang putra benar-benar mengikuti jejak langkahnya. Tetapi, di pertarungan yang lain. Tepatnya di Perang Yarmuk, di Syam. Amru bin Thufail ikut dalam rombongan pasukan. Di sana ia gugur sebagai syahid. Saat mengembuskan napasnya yang terakhir, ia menjulurkan tangan kanannya dan membuka telapak tangannya, sekan sedang berjabat tangan.
Siapa yang tahu?!
Bisa jadi, saat itu, ia sedang berjabat tangan dengan ruh ayahnya.

0 komentar:

Posting Komentar